Hidup renung
Ada yang
pergi, tak kembali. Ada singgah, tak kunjung pergi. Ada yang datang, tak
menemui. Debu tak bertebaran pada putaran yang sama, embun yang jatuh tak
selalu luruh ke tanah. Daun, ranting, akar tak tau kemana arah matahari. Inilah
hidup, tak ada yang kau ketahui, tak juga bisa kau rencanakan, dan tak sesuai
yang kau harapkan.
Aku melipir
dari jalan yang telah diserbu ratusan rintik hujan. Sempat beberapa rintik
membasahi tubuhku. Terasa dingin, lebih dingin dari biasanya. Seketika hujan
membendung kota nan megah ini. Melamunkan memori dan kenangan hidup yang
kulalui. Kuterpaku menunggu hujan yang semakin membasahiku.
“renung, mau
kemana kalau sudah besar?” ayah selalu bertanya seperti ini ketika kita
memiliki momen bersama, berdua. “kemanapun yang telah kau singgahi” jawabku
ringan. “aku akan pergi ke banyak tempat, sanggupkah kau mengikutiku kelak?”
tantangnya mulai memacu adrenalinku. “siapa takut, memang ayah mau kemana?”
jawabku mulai dengan rasa penasaran, “kuberitahu kau akan banyak negara yang
akan ku kunjungi, banyak kota yang akan aku singgahi, banyak waktu yang harus
kulalui. Masih ingin pergi mengikutiku?” jelasnya dengan nada yang membuatku
penasaran, karena usiaku yang masih kecil sehingga aku tak mampu mengartikan
kalimat tersebut kedalam arti kiasan atau yang lain. “iyaaa siaap” seruku .
“hahaha....baiklah kalau begitu” seraya ia tertawa dengan terus memandangiku.
Detik terus
berlari, menit terus mengejar, jam tak sanggup berhenti ketika diriku semakin
tumbuh besar. Ketika kubutuhkan keluarga, dan ternyata aku kalah judi. Sudah
kutaruhkan seluruh hidupku untuk keluarga, namun aku kalah. Taruhanku tak
beraku, aku bangkrut jasad dan hatiku. Perginya ayah, pisahnya dengan ibu dan
entah pergi kemana kakakku, memilukanku. Kali ini aku kalah judi, berubah semua
mulai dari sini. Saat aku tak lagi punya apa – apa. Semua mimpiku, hidupku,
berubah sesuai keadaanku yang kekurangan. Sekolahku, temanku, hobiku, seluruhnya tandas
hanya memberikan serpihan kecil orang yang ingin menemaniku. Seperti sunyi dan
sendiri yang selalu menemaniku.
Tinggalah
aku serta ibuku, tak terlalu dekat. Tak sedekat ayahku dulu. Namun aku berusaha
kuat, agar menguatkanya. Aku yakin hidupnya, hatinya pun sudah tak terbentuk.
Penuh luka dan cabik, gelap, tak tau mana yang benar dan salah, siapa yang
jahat dan baik. Matanya penuh nanar kemarahan, tapi tak dapat keluar. Air mukanya layu, matanya
menghitam karna terjaga siang dan malam. Terus menelaah nasib yang menimpanya.
Kosong, hidupnya kini tapi tetap menggenggamku erat. Bertahan untuku yang masih
berdiri disampingnya. Seolah ia berkata, “renung aku cinta kau, tetap disini
saat aku kosong karna kau telah ada saat aku penuh. Kuatlah kau akan tumbuh
dengan impianmu, bersamaku”. Batinku menjawab apa yang ada dipikiranya “ibu,
aku cinta kau”.
Renung Maharani
“perkenalkan ini renung maharani, dia akan menjadi
teman kalian” ibu guru yang saat itu yang kutau
tentangnya hanya dia perempuan, tinggi semampai, berkerudung, sedikit
ketus. “siahkan renung duduk” “baik bu”. Aku pindah sekolah, pindah ke luar
kota. Sedikit terpencil dari kotanya. Saat itu juga aku berjanji hanya sekolah
untuk lulus tak perlu jadi pusat perhatian, kalau bisa aku sendiri. Karna malu,
aku tak punya apa – apa.
Setiap hari
aku pergi berangkat sekolah kemudian pulang, esoknya berangkat, lalu pulang
sampai akhirnya aku lulus. Dan aku tak tau akan kemana, aku tak punya cukup
uang untuk melanjutkan kuliah. Kuhidup saja numpang dengan saudara, ibuku hanya
bekerja di sebuah pabrik kancing kecil, yang upahnya hanya bisa kami nikmati
setiap hari sabtu makan soto ayam. Itu makanan mewah setiap minggu menurutku.
Saudaraku
hidupnya leih baik, terbukti mereka menghidupkanku dengan ibu. Tak pernah aku
meminta hal yang muluk. Berprilaku tak santun. Kadang ku usapi dada ibuku saat
ia menangis tersedu – sedu. Karena melakukan hal salah yang kecil, tapi sangat
besar kelihatanya, karena kami orang tak punya memang akan selalu salah. Karena
mereka yang menghidupkan kami, kadang tak melihat bahwa kami pun hidup punya
rasa seperti mereka. Tapi kami hanya diam, karena kami tahu kami
miskin.Terkadang aku ingin lari yang jauh, pergi dari kehidupanku. Tapi ibu
selalu berkata “kamu anak yang kuat renung”
Aku tak bisa
menghentikan waktu, aku tumbuh semakin besar. Usiaku genap 20. Tubuhku berubah,
sikapku berubah, sifatku berubah. Tapi aku yaa tetap aku. Hidup menuntutku
dewasa, padahal tak kurasakan masa kecilku. Karena direnggut oleh hidup. Renung
Maharani kini lebih mudah tersenyum, dikala hatinya tersakiti. Ada yang tak
kusadari dari hidup, namaku. Mengapa namaku renung, mengapa ibu dan ayah
membeikan nama itu. Apa mereka sudah mengetahui bagaimana hidupku kelak, yang
penuh dengan renungan dari setiap permasalahan. Sering ku merenung, bukan
tentang apa arti namaku. Renunganku jauh sampai pada batas yang tak dapat
kukehendaki. Ku kaitkan benang satu dengan yang lainya dari permaslahan yang
tak terungkap,dari perasaan yang meluap. Kusambungkan benang hingga menyerupai
kain, namun taksempurna, tak dapat terungkap, tak dapat ku nikmati indahnya.
Aku tak tahu mengapa hidup artinya ‘berat’ dalam kamusku. Apa aku istimewa
dimata sang hidup. Atau hidup ingin mengajariku sesuatu yang belum kutahu
hingga detik ini.
Menjalani
hidup, merenungkan hidup. Hanya itu yang bisa aku lalui kini. Kau memiliki pola
yang sama, yang berulang, yang selalu muncul pada kesempatan yang sama namun ku
hanya merenung. Masihkah hidup ingat akan diriku, dikala yang lain tak
melakukanya. Aku ingin hidup, karena selama ini aku merasa mati dalam jasad yang
hidup. Berikanku hidup meski namaku renung, tak lagi kubuat mrenung jika hidup
membaik. Mungkin itu yang ingin hidup sampaikan padaku, jika hidupku mmbaik
takan pernah aku merenung tentang hidup.
renung maharani oleh meiza rani purnama zeha
maret 2014
18 Juni 2015 pukul 00.57
walaupun namanya renung tapi tak usah merenung dalam hidup ini ya mba :)